Prakt. Ekologi Hewan



PRAKTIKUM I
Identifikasi Serangga


A.  Dasar Teori
Identifikasi merupakan proses pengenalan, menempatkan obyek atau individu dalam suatu kelas sesuai dengan karakteristik tertentu. Ada empat kendala dalam melakukan identifikasi yaitu terlalu banyaknya macam dan jenis serangga, kebanyakan serangga berukuran kecil dan pembedanya sulit dilihat, banyak macam serangga yang masih belum dikenal dan yang keempat setiap serangga memiliki siklus hidup yang berbeda-beda. Kendala tersebut dapat diatasi dengan melakukan identifikasi menggunakan gambar-gambar, membandingkan serangga dengan deskripsi-deskripsi dan yang terakhir menggunakan kunci determinasi.
Kata insecta  berasal  dari bahasa latin, yaitu insecti = serangga. Banyak anggota hewan ini sering kita jumpai disekitar kita, misalnya kupu-kupu, nyamuk, lalat, lebah, semut, capung, jangkrik, belalang, dan lebah. Ciri khususnya adalah kakinya yang berjumlah enam buah. Karena itu pula sering juga disebut hexapoda.Insecta dapat hidup di berbagai habitat, yaitu air tawar, laut dan darat. Hewan ini merupakan satu-satunya kelompok invertebrata yang dapat terbang. Insecta ada yang hidup bebas dan ada yang sebagai parasit.Tubuh Insecta dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu kaput, toraks, dan abdomen. Caput   memiliki organ yang berkembang baik, yaitu adanya sepasang antena, mata majemuk (mata faset), dan mata tunggal (oseli).Insecta memiliki organ perasa disebut palpus.
Toraks terdiri dari tiga segmen atau ruas yang terlihat jelas, yaitu dari depan prothoraks, mesothoraks, dan metathoraks dan pada setiap segmen terdapat sepasang kaki, sayapnya terdapat mesothoraks dan metathoraks. Pada insekta yang bersayap sepasang, sayap belakangnya mereduksi, mengecil dan disebut halter yang berfungsi sebagai alat keseimbangan.Tubuh insekta diperkuat dengan rangka luar atau eksoskelet dari chitine.
Pada abdomen (perut) insekta ada sebelas segmen, pada stadium embrio segmen ditemukan lengkap, tetapi pada bentuk dewasa segmen dibagian poeterior menjadi alat reproduksi. Abdomen dalam bentuk dewasa tidak berkaki tetapi pada stadium larva mempunyai kaki. Pada abdomen terdapat spirakel, yaitu lubang pernapasan yang menuju tabung trakea.  Susunan kaki pada insekta terdiri-dari ruas-ruas yaitu :
a. Panggul (coxa)
b. Gelang paha (trokanter)
c. Paha (femur)
d. Ruas betis (tibia)
e. Ruas-ruas kaki (tarsus)

Insecta yang memiliki sayap pada segmen kedua dan ketiga. Bagian abdomen Insecta tidak memiliki anggota tubuh. Pada abdomennya terdapat spirakel, yaitu lubang pernapasan yang menuju tabung trakea. Trakea merupakan alat pernapasan pada Insecta. Pada abdomen juga terdapat tubula malpighi, yaitu alat ekskresi yang melekat pada posterior saluran pencernaan. Sistem sirkulasinya terbuka. Organ kelaminnya insekta berumah dua (dioseus) artinya insekta jantan dan insekta betina terpisah, alat kelaminnya terletak pada segmen terakhir dari abodemen. Fertilasi terjadi secara internal. Insekta mengalami ekdisis pada tahap tertentu selama perkembangan hidupnya.

Perkembangan Insecta dibedakan menjadi 3 :

1. Ametabola adalah perkembangan yang hanya berupa pertambahan ukuran saja tanpa perubahan wujud. Contohnya kutu buku (lepisma saccharina)
2. Hemimetabola adalah tahap perkembangan Insecta yang tidak sempurna, dimana Insecta muda yang menetas mirip dengan induknya, tetapi ada organ yang belum muncul, misalnya sayap. Sayap itu akan muncul hingga pada saat dewasa hewan tersebut. Insecta muda disebut nimfa. Skemanya adalah telur – nimfa (larva) – dewasa (imago). Contoh Insecta ini adalah belalang, kecoa (periplaneta americana), jangkrik (gryllus sp.), dan walang sangit (leptocorisa acuta).
3. Holometabola adalah perkembangan Insecta dengan setiap tahap menunjukan perubahan wujud yang sanagt berbeda (sempurna).Tahapnya adalah sebagai berikut: telur – larva – pupa – dewasa. Larvanya berbentuk ulat tumbuh dan mengalami ekdisis beberapa kali. Setelah itu larva menghasilkan pelindung keras disekujur tubuhnya untuk membentuk pupa. Pupa berkembang menjadi bagian tubuh seperti antena, sayap, kaki, organ reproduksi, dan organ lainnya yang merupakan struktur Insecta dewasa. Selanjutnya, Insecta dewasa keluar dari pupa. Contoh Insecta ini adalah kupu-kupu, lalat, dan nyamuk.

Berdasarkan sayap, Insecta dibedakan menjadi 2 sub-kelas :

1. Pertama Apterigota (tidak bersayap), tubuh apterigota berukuran kecil sekitar 0,5 cm dan memiliki antena panjang. Umumnya berkembang secara ametabola. Contoh hewan kelas ini adalah kutu buku.
2. Kedua Pterigota (bersayap), merupakan kelompok insecta yang sayapnya berasal dari tonjolan luar dinding tubuh yang disebut Eksopterigota. Kelompok lain yang sayapnya berasal dari tonjolan dalam dinding tubuh disebut Endopterigota.
a.    Eksopterigota dibedakan menjadi beberapa ordo bedasarkan tipe sayap, mulut, dan metamorfosisnya :
Ø Orthoptera memiliki dua pasang sayap dengan sayap depan yang sempit. Misalnya kecoa, jangkrik, dan gansir.
Ø Hemiptera memiliki dua pasang sayap yang tidak sama panjang. Ciri-ciri lain yang dimiliki oleh ordo hemiptera adalah :
- Mengalami metamorfosis tidak sempurna.
- Tipe mulut menusuk dan menghisap.
Contoh : a. Kutu busuk (Cymex rotundus).
 b. Walang sangit (Leptocorisa acuta).
Ø Homoptera memiliki dua pasang yang sama panjang.Contohnya wereng coklat (Nilaparvata lugens), kutu daun (Aphis), dan kutu kepala (Pediculus humanus)
Ø Odonata memiliki dua pasang sayap seperti jala.Contohnya capung (pantala).
b.    Endopterigota dibedakan menjadi :
Ø Coleptera memiliki dua pasang sayap dengan sayap depan yang keras dan tebal.Misalnya kumbang tanduk (Orycies rhinoceros) dan kutu gabah (Rhyzoperta diminica)
Ø Hymenoptera memiliki dua pasang sayap yang seperti selaput, dengan sayap depan lebih besar daripada sayap belakang Misalnya semut rangrang (Oecophylla saragillina), semut hitam (Monomorium sp.), lebah madu (Apis indica), dan tawon (Xylocopa latipes)
Ø Diptera hanya memiliki satu pasang sayap depan dan sayap belakang mengalami redukasi membentuk halter (alat keseimbangan). Mengalami metamorfosis sempurna. Tipe mulut menusuk dan menghisap serta menjilat. Memiliki  tubuh ramping.
Contoh : Nyamuk rumah (Culex pipiens), nyamuk malaria (Anopheles) lalat rumah (Musca domestica), lalat buah (Drosophila melanogaster), dan lalat tse-tse (Glossina palpalis)
Ø Lepidoptera memiliki dua pasang sayap yang bersisik halus dan tipe mulut mengisap. Misalnya kupu-kupu sutera (Bombyx mori) dan kupu-kupu elang (Acherontia atropos)



PRAKTIKUM II
Koleksi Serangga


A.  Dasar Teori
Koleksi (mengumpulkan) serangga bisa dikatakan sebagai kegiatan wajib dalam ilmu serangga untuk mendukung kajian-kajian biologi pada serangga. Kegiatan koleksi serangga dilakukan untuk mengumpulkan serangga, dan dianggap menjadi upaya awal manusia dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu serangga. Bagi sebagian besar orang, kegiatan ini sangat menarik, dan sering digunakan sebagai salah satu cara untuk rekreasi. Sementara bagi seorang entomologiwan, koleksi menjadi pintu pembuka untuk memahami perikehidupan serangga yang rumit.
Perlu ditegaskan kembali bahwa koleksi serangga merupakan kegiatan menangkap, mengawetkan dan membuat spesimen awetan. Spesimen tersebut dapat digunakan sebagai contoh spesimen dan setelah diidentifikasi menjadi sangat berguna sebagai patokan identifikasi untuk pengamatan di lapangan. Oleh karena itu tata cara koleksi yang benar harus diperhatikan agar spesimen yang dikoleksi bernilai keilmuan tinggi.
Serangga-serangga yang telah diidentifikasi kemudian dikoleksi basah dalam campuran alkohol dan formalin untuk serangga-serangga yang berukuran kecil. Sedangkan koleksi kering untuk serangga-serangga berukuran yang besar.




PRAKTIKUM III
Menaksir Kelimpahan Populasi Organisme  
Dengan Metode Menangkap-Manandai-Menangkap Kembali (MMM) Atau Metode Capture Mark Release Recapture (CMRR)


A.  Dasar Teori
Populasi didefinisikan sebagai kelompok organisme atau individu spesies yang sama (kelompok-kelompok dari individu yang dapat bertukar informasi genetik), yang menempati ruang dan waktu tertentu, memiliki sifat yang unik yang merupakan sumbangan dari masing-masing individu anggota kelompok tersebut (Odum, 1971) dalam Darmawan (2005). Menurut Kendeight (1980) dalam Darmawan (2005), populasi merupakan sekumpulan individu yang berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain pada spesies yang sama. Secara definitif populasi dibatasi ruang dan waktu (limited and defined), sedangkan lingkungan merupakan variabel fisik dan hayati yang mempengaruhi keberadaan populasi, termasuk interaksi antar individu di dalam populasi itu sendiri maupun dengan spesies yang berbeda.
Seseorang seringkali perlu mendapatkan informasi besarnya populasi makhluk hidup baik di laboratorium maupun di lapangan seperti di hutan, di pantai, di rawa maupun di sungai atau di lautan untuk melakukan penelitian ekologi. Kerapkali pertanyaan pertama yang harus dicari jawabannya ialah tentang berapa kerapatan (densitas) populasi. Kerapatan populasi ialah ukuran besarnya populasi dalam satuan ruang atau volume. Pada umumnya ukuran besarnya populasi digambarkan dengan cacah individu, atau biomassa populasi  per satuan ruang atau volume.
Penentuan kerapatan dalam populasi perlu dibedakan antara kerapatan kotor (crude density) dengan kerapatan ekologi (spesifik atau ecological density). Kerapatan kasar yaitu cacah individu suatu populasi per areal seluruhnya atau total area. Sedangkan kerapatan ekologi adalah cacah individu per areal habitatnya. Kerapatan ekologi dapat dibedakan pula atas kerapatan nisbi dan kerapatan absolut. Kerapatan nisbi adalah nilai yang menunjukkan besaran suatu populasi tanpa dapat menunjukkan cacah individu populasi per satuan area atau volume. Sedangkan kerapatan absolut adalah nilai yang menunjukkan cacah individu suatu populasi per satuan area atau volume.
Menentukan kerapatan populasi dalam skala ruang yang relatif sempit kita dapat melakukan perhitungan cacah individu atau biomassa secara menyeluruh (total count), namun pada ruang yang relatif luas kita dihadapkan pada keterbatasan. Untuk itu biasanya dilakukan dengan cara pengambilan cuplikan atau sebagian kecil dari individu populasi tersebut, yang selanjutnya dari cuplikan tersebut dianalisis untuk mendapatkan suatu kesimpulan dari populasi yang dipelajari.
Mengetahui perkembangan kerapatan suatu populasi dari periode waktu yang berbeda, atau membandingkan kerapatan populasi pada ruang yang berbeda secara relatif, maka satuan pengukuran yang dipergunakan adalah kerapatan relatif (relatif density).
Upaya untuk memperoleh cuplikan yang dapat memberikan gambaran suatu populasi tanpa bias (bias yang relatif kecil dan tidak bermakna) diperlukan suatu metode yang tepat. Dalam kajian populasi hewan, secara garis besar dapat dipilah antara metode hewan yang geraknya relatif terbatas (seesile) dan yang bergerak.
Beberapa metode yang dipergunakan dalam pencuplikan hewan adalah metode:
a.    Berpetak, volume (plot)
b.    Transek (line transec, belt transec)
c.    Penandaan (Capture Mark Release and Recapture Methode - CMRR)
d.   Jebakan (light trap, pitfall, jebakan tikus, dll)
e.    Cacah butir tinja
f.     Catatan kulit, dll.
Perhitungan populasi baik untuk hewan maupun tumbuhan dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Misalnya: untuk memperkirakan populasi rumput dapat digunakan metode kuadrat, untuk penghitungan hewan besar dapat diperkirakan populasinya dengan cara “track count” atau fecal count”. Untuk hewan yang relatif mudah ditangkap misalnya tikus dan belalang dapat diperkirakan dengan metode Capture Mark Release Recapture (CMRR).
Metode Capture Mark Release Recapture (CMRR) adalah menangkap hewan, menandai, melepaskan dan menangkap kembali. Merupakan metode yang umumnya dipakai untuk menghitung perkiraan besarnya populasi. Misalnya untuk menduga ukuran populasi dari suatu spesies hewan yang bergerak cepat seperti ikan, burung dan mamalia kecil. Kadang-kadang ada hewan yang bersifat suka ditangkap (trap happy) atau susah ditangkap (trapshy).
Metoda CMRR dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1.      Metoda Linceln-Peterson
Metoda ini pada dasarnya menangkap sejumlah individu dari suatu populasi hewan yang akan dipelajari. Individu yang ditangkap kemudian diberi tanda yang mudah di baca, kemudian dilepaskan kembali dalam periode waktu yang pendek. Setelah beberapa hari ditangkap kembali dan dihitung yang bertanda yang tertangkap.
Dari dua kali hasil penangkapan dapat diduga ukuran atau besarnya populasi (N) dengan rumus:

Keterangan:
N  =   besarnya populasi total.
M =   jumlah induvidu yang tertangkap pada penangkapan pertama.
n   =   jumlah induvidu yang tertangkap pada penangkapan kedua.
R  =   Individu yang bertanda dari penangkapan pertama yang tertangkap kembali pada penangkapan kedua.

Metode pendugaan populasi yang dilakukan dengan menarik sampel selalu ada kesalahan (Error). Untuk menghitung kesalahan metode capture-recapture dapat dilakukan dengan cara menghitung kesalahan baku (Standart Errror = SE nya)

SE= √(M)(n)(M-R)(n-R) : R3

Setelah diketahui SE nya dapat ditentukan selang kepercayaannya:

 N=(1)(SE)

Dengan catatan, t=(df) Dalam tabel distribusi tΑ (tingkat signifikasi) = 0,05. Untuk menghitung kepadatan (d) populasi pada hewan disuatu habitat tertentu (A) maka dihitung dengan rumus :

D=N/A

2.      Metode Schanabel
Langkah untuk memperbaiki keakuratan metode Lincon-Peterson (Karena sample relatif kecil), dapat digunakan schanabel. Metode ini selain membutuhkan asumsi yang sama dengan metode Lincon-Peterson, juga ditambahkan dengan asumsi bahwa ukuran populasi harus konstan dari satu periode sampling dengan periode yang berikutnya. Pada metode ini penangkapan dan pelepasan hewan lebih dari 2 kali. Untuk periode setiap sampling, semua hewan yang belum bertanda diberi tanda dan dilepaskan kembali. Dengan cara ini populasi dapat diduga dengan rumus:

Keterangan:
Mi   =   adalah jumlah total hewan yang tertangkap periode ke 1 ditambah periode sebelumnya,
ni    =   adalah hewan yang tertangkap pada periode i
Ri    =   adalah hewan yang tertangkap kembali pada periode ke i

Karena pengambilan sampel di atas akan mengurangi kesalahan sampling. Maka Standar Error pada metode ini dapat dihitung dengan rumus:

SE = 1/√1(N-Mi)=(k-1)/N -∑(1/N-ni))

Keterangan:
K   =  jumlah periode sampling
Mi = Jumlah total hewan yang bertanda (Sugianto.A.,1994)

Metode MMM yang akan dipelajari dalam latihan ini hanya berlaku bagi populasi tertutup yang dalam hal ini berarti populasi (relatif) konstan selama periode pengamatan. Cara menandai ada bermacam-macam, tergantung spesies hewan yang diteliti, habitatnya (daratan, perairan), selama periode pengamaatan dan tujuan studi, namun dalam cara apapun yang digunakan persyaratan-persyaratan berikut ini perlu dipenuhi.
1.    Tanda yang digunakan harus mudah dikenal kembali dan tidak ada yang hilang atau rusak selama periode pengamatan.
2.    Tanda yang digunakan tidak mempengaruhi atau merubah perilaku atau aktivitas atau peluang hidup.
3.    Setelah diberi penandaan hewan-hewan itu harus dapat berbaur dengan individu-individu lain dalam populasi.
4.    Peluang untuk ditangkap (kembali) harus sama bagi individu yang bertanda maupun tidak.




PRAKTIKUM IV
Pola Aktivitas Harian Laba-laba Di Lingkungannya


A.  Dasar Teori
Semua mahluk hidup mengambil pola-pola perilaku yang membutuhkan kecerdasan agar bisa bertahan hidup. Pola-pola perilaku ini, yang mendasari kecakapan, kepiawaian dan kemampuan-kemampuan perencanaan unggul memiliki satu kesamaan. Masing-masing perilaku ini mensyaratkan adanya kemampuan. Kecakapan yang hanya dapat dikuasai manusia dengan cara belajar, latihan ulang dan pengalaman ini, telah ada pada mahluk-mahluk hidup ini sejak pertama kali mereka lahir (Yahya, 2001).
Bumi ini dihuni oleh berjuta jenis hewan yang berbeda dan setiap jenis memiliki perbedaan sendiri. Demikian juga dengan perilaku, hewan memiliki perilaku umum yang dimiliki oleh banyak jenis dan sedikit pola perilaku yang dimiliki oleh banyak jenis. Ketika semua jenis hewan memerlukan reproduksi, makan dan juga mencoba untuk tidam menjadi santapan oleh makhluk apapun, semua jenis hewan memiliki beberapa jenis tipe perilaku reproduksi, perilaku mencari makan dan perilaku bertahan. Untuk sekian lama, seleksi alam juga memungkinkan jenis hewan tertentu memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan perilaku termasuk perilaku komunikasi, perilaku penguasaan wilayah, perilaku penyebaran dan perilaku sosial (Sukarsono, 2009).
Perilaku hewan dibedakan menjadi beberapa bagian, diataranya:
1.    Perilaku reproduksi, kebanyakan hewan harus menemukan pasangan untuk bereproduksi. Umumnya jantan, mencoba untuk berperilaku atraktif untuk menarik lawan jenisnya.
2.    Perilaku mencari makan, hewan memperlihatkan beberapa tipe perilaku mencari makan yang berbeda. Beberapa jenis hewan sangat selektif terhadap apa yang mereka makan.
3.    Perilaku bertahan, beberapa jenis hewan memiliki kemampuan perilaku untuk melepaskan diri dari pemangsa.
4.    Perilaku komunikasi, memegang peran penting bagi hewan dengan menggunakan tanda (signal) dan suara, beberapa jenis hewan melakukan komunikasi dengan menggunakan baha-bahan kimia.
5.    Perilaku territorial, perancangan dan pemeliharaan kawasanmerupakan perilaku yang diperlihatkan oleh hewan. Pemilik hewan pada umumnya mencoba mengusir individu lain yang memasuki kawasannya.
6.    Perilaku sosial, temasuk perilaku penyebaran yang diperlihatkan oleh individu hewan dengan menjauhi area dimana mereka dilahirkan. Perilaku sosial didefinisikan sebagai interaksi diantara individu, secara normal di dalam spesies yang sama yang saling mempengaruhi satu sama lain.
7.    Perilaku migrasi, banyak jenis hewan melakukan perjalanan untuk bersarang atau berpinda dari suatu tempat ke tempat lainnya. Untuk melakukan hal ini, hewan harus melakukan sendiri jalur terbang dengan stimulus lingkungan. Perjalanan sekelompok hewan dalam jarak jauh disebut migrasi. Tujuan atau orientasi pergerakan sudah jelas untuk menghindari kondisi lingkungan yang sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup populasinya atau untuk kegiatan bereproduksi. (Sukarsono, 2009)

Laba-laba, atau disebut juga labah-labah, adalah sejenis hewan berbuku-buku (arthropoda) dengan dua segmen tubuh, empat pasang kaki, tak bersayap dan tak memiliki mulut pengunyah. Semua jenis laba-laba digolongkan ke dalam ordo Araneae; dan bersama dengan kalajengking, ketonggeng, tungau semuanya berkaki delapan dimasukkan ke dalam kelas Arachnida. Bidang studi mengenai laba-laba disebut arachnologi.
Laba-laba merupakan hewan pemangsa (karnivora), bahkan kadang-kadang kanibal. Mangsa utamanya adalah serangga. Hampir semua jenis laba-laba, dengan perkecualian sekitar 150 spesies dari suku Uloboridae dan Holarchaeidae, dan subordo Mesothelae, mampu menginjeksikan bisa melalui sepasang taringnya kepada musuh atau mangsanya. Meski demikian, dari puluhan ribu spesies yang ada, hanya sekitar 200 spesies yang gigitannya dapat membahayakan manusia.
Tidak semua laba-laba membuat jaring untuk menangkap mangsa, akan tetapi semuanya mampu menghasilkan benang sutera yakni helaian serat protein yang tipis namun kuat– dari kelenjar (disebut spinneret) yang terletak di bagian belakang tubuhnya. Serat sutera ini amat berguna untuk membantu pergerakan laba-laba, berayun dari satu tempat ke tempat lain, menjerat mangsa, membuat kantung telur, melindungi lubang sarang, dan lain-lain (Anonim, Tanpa tahun).


PRAKTIKUM V
Kisaran Toleransi Pada Beberapa Spesies IKAN


A.  Dasar Teori
Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berbagai jenis hewan berbeda-beda. Ada hewan yang kisarannya lebar (euri) dan ada hewan yang sempit (steno). Kisaran toleransi ditentukan secara herediter, namun demikian dapat mengalami perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi (di alam) atau aklimasi (di lab).
Konsep kisaran toleransi, faktor pembatas maupun preferendum diterapkan di bidang-bidang pertanian, peternakan, kesehatan, konservasi dan lain-lain. Hal ini dilakukan dengan harapan kinerja biologi hewan, pertumbuhan dan reproduksi dapat maksimum dan untuk kondisi hewan yang merugikan kondisi lingkungan biasanya dibuat yang sebaliknya.
Setiap hewan memiliki kisaran toleransi yang bervariasi, maka kehadiran di suatu habitat sangat ditentukan oleh kondisi dari faktor lingkungan di tempat tersebut. Kehadiran dan kinerja populasi hewan di suatu tempat menggambarkan tentang kondisi faktor-faktor lingkungan di tempat tersebut. Oleh karena itu ada istilah spesies indicator ekologi, baik kajian ekologi hewan maupun ekologi tumbuhan. Species indikatoe ekologi adalah suatu species organisme yang kehadirannya ataupun kelimpahannya dapat memberi petunjuk mengenai bagaimana kondisi faktor-faktor fisiko – kimia di suatu tempat.
Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi faktor lingkungan yang mendekati batas kisaran tolrensinya, maka organisme tersebut akan mengalami cekaman (stress). Fisiologis. Organisme berada dalam kondisi kritis. Contohnya, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim rendah akan menunjukkan kondisi kritis Hipotermia dan pada suhu ekstirm tinggi akan mengakibatkan gejala Hipertemia. Apabila kondisi lingkungan suhu yang demikian tidak segera berubah maka hewan akan mati.
Menentukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan tidaklah mudah. Setiap organisme terdedah sekaligus pada sejumlah faktor lingkungan, oleh adanya suatu interaksi faktor maka suatu faktor lingkungan dapat mengubah efek faktor lingkungan lainnya. Misalnya suatu individu hewan akan merusak efek suhu tinggi yang lebih keras apabila kelembaban udara yang relatif rendah. Hewan akan lebih tahan terhadap suhu tinggi apabila udara kering disbanding dengan pada kondisi udara yang lembab.
Ketika di dalam laboratorium juga sangat sulit untuk menentukan batas-batas kisaran toleransi hewan terhadap sesuatu faktor lingkungan. Penyebabnya ialah sulit untuk menentukan secara tepat kapan hewan tersebut akan mati. Cara yang biasa dilakukan ialah dengan memperhitungkan adanya variasi individual batas-batas kisaran toleransi itu ditentukan atas dasar terjadinya kematian pada 50% dari jumlah individu setelah didedahkan pada suatu kondisi faktor lingkungan selama rentang waktu tertentu.
Adapun Rumusnya yaitu :

Ø Untuk kondisi suhu (T) :
LT x – x jam =.......??
Keterangan :
X = bilangan berapa saja sesuai keinginan yang diingin diketahui sesuai dengan ketentuan rumus.
L =   Lethal
Ø Untuk kondisi Dosis (D) :
LD x – x jam =.......??
Ø Untuk kondisi konsentrasi (C) :
LC x – x jam =.......??





PRAKTIKUM VI
Ragam Perangkap Makrofauna

A.  Dasar Teori
Perangkap merupakan tempat atau alat yang digunakan untuk menangkap serangga dan hama yang diberi umpan. Umumnya serangga tertarik dengan cahaya,warna, aroma makanan atau bau tertentu . serangga tertentu juga lebih tertarik  terhadap warna . warna yang disukai serangga biasanya warna-warna kontras seperti warna kuning cerah. Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan perangkap adalah sebagai berikut : ukuran atau jenis serangga yang akan ditangkap, kebiasaan keluar : siang atau malam hari, stadium perkembangan serangga, makanan kesukaannya, warna kesukaannya, kekuatan atau kemampuan untuk berinteraksi terhadap jerat dan cara terbang.
Pengampilan sampel serangga bis dilakukan dengan 3 metode, yatu :
1.    Perangkap jaring (sweep net)
2.    Perangkap jebak (fitfall trap)
3.    Perangkap cahaya lampu (light trap)

Perangkap/ jebakan untuk serangga yang aktif pada siang hari dilakukan dengan 2 (dua) metode, yaitu :
1.    Perangkap Jaring (Sweep net)
Prinsip kerja perangkap ini yaitu dengan cara pengabutan 10 kali pengayunan pada setiap titik sampling masing-masing. Cara ini sangat sederhana dan cepat pengampilan sampel serangga vegetasi, kekurangannya menggunakan perangkap ini yaitu hanya serangga-serangga yang tidak terjatuh atau kabur pada saat si pengumpul mendekati serangga pada vegetasi yang akan ditangkap.

2.    Perangkap Jebak (Fitfall trap)
http://ecoplexity.org/files/uploads/pitfall_trap2.jpg                                                                 
Prinsip perangkap ini sangat sederhana, yaitu bejana yang ditanam dalam tanah sebagai perangkap lubang dengan kedalaman 20 cm dan permukaan bejana dibuat datar dengan tanah. Agar air hujan tidak masuk ke dalam perangkap maka perangkap dibuat atap, tinggi atap menyesuaikan dan minimal 10 cm. Pemantauan 3 hari sekali dan dilakukan selama seminggu.

Perangkap/ jebakan untuk serangga yang aktif pada malam hari dilakukan dengan 1 (satu) metode, yaitu :
a.    Perangkap Cahaya Lampu (Light trap)
Prinsip kerja perangkap ini cukup sederhana yaitu menarik serangga-serangga yang beterbangan menuju kearah sumber cahaya, kemudian disaat serangga tersebut mengerumuninya, mereka akan berputar-putar kemudian masuk ke dalam perangkap yang telah kita pasang. Pemasangan perangkap dilakukan pukul 18.00-19.00 WIB. Pemantauan 10 Menit sekali dan dilakukan selama 1 jam.





PRAKTIKUM VII
Keanekaragaman Hewan Pantai


A.  Dasar Teori
Keanekaragaman makhluk hidup dapat terjadi akibat adanya perbedaan warna, ukuran, bentuk, jumlah, tekstur, penampilan, dan sifat-sifat lainnya. Sedangkan keanekaragaman dari makhluk hidup dapat terlihat dengan adanya persamaan ciri antar makhluk hidup. Upaya untuk dapat mengenal makhluk hidup khususnya pada hewan berdasarkan ciri-ciri yang dimilikinya dapat dilakukan melalui pengamatan ciri-ciri morfologi, habitat, cara berkembang biak, jenis makanan, tingkah laku, dan beberapa ciri lain yang dapat diamati.
Keanekaragaman jenis menunjukkan seluruh variasi yang terdapat pada makhluk hidup antar jenis (interspesies) dalam satu marga. Keanekaragaman di dalam komunitas biasanya mewakili sejumlah besar individu, biomassa, produktivitas. Nisbah antara jumlah jenis dan jumlah individu, biomassa, produktivitas dan sebagainya disebut indeks keanekaragaman jenis. Keanekaraman jenis cenderung turun dalam ekosistem yang mempunyai sasaran faktor pembatas fisika-kimia yang kuat.
Pantai merupakan tempat yang letaknya berbatasan dengan ekosistem darat, laut, dan daerah pasang surut. Pantai dipengaruhi oleh pasang surut air laut, di daerah ini dihuni oleh ganggang, anemon laut, remis, kerang, landak laut, bintang laut, dan ikan-ikan kecil. Bila tanah di daerah pasang surut berlumpur maka kawasan ini berupa hutan bakau yang memiliki akar napas.

 

PRAKTIKUM VIII
Indeks Keragaman Serangga


A.  Dasar Teori
Jumlah dan jenis serangga akan semakin meningkat pada komunitas yang memiliki kuantitas dan kualitas pakan yang sesuai dengan kebutuhan serangga.  Antara vegetasi dan serangga terjadi hubungan yang dapat menstabilkan ekosistem hutan.  Bila salah satu komponen terganggu maka akan mempengaruhi keberadaan komponen lainnya.  Hal ini ditegaskan oleh Berryman (1986), yang menyebutkan bahwa serangga berperan penting dalam proses suksesi dan menjaga kestabilan ekosistem hutan.  Berdasarkan Keppres RI No. 52 Tahun 1989 salah satu fungsi pokok dari kawasan Tahura Sultan Adam adalah sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya (Kusmana, 2008).
Menurut Heddy, (1986) Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan spesies dalam komunitas. Keanekaragaman spesies terdiri dari 2 komponen yakni :
1.  Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies.
2.  Kesamaan spesies. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies itu (jumlah individu, biomassa, penutup tanah, dsb) tersebar antara banyak spesies.

Keanekaragaman hayati telah menjadi perhatian utama para ahli ekologi dalam beberapa dekade terakhir. Penelitian mengenai keanekaragaman hayati telah banyak dilakukan terutama pada serangga. Hal ini disebabkan karena serangga merupakan komponen keanekaragaman hayati yang paling besar jumlahnya, mempunyai fungsi ekologi yang penting dan dapat menjadi indikator rusaknya lingkungan.
Menurut Heddy, (1986) Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan spesies dalam komunitas. Keanekaragaman spesies terdiri dari 2 komponen yakni :
1.    Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies.
2.    Kesamaan spesies. Kesamaan menunjukkan bagaimana kelimpahan spesies itu (jumlah individu, biomassa, penutup tanah, dsb) tersebar antara banyak spesies.

Adapun rumus yang digunakan dalam menentukan indeks keanekaragaman jenis serangga digunakan indeks Dominansi Simpson (D) dan indeks Shanon-weiner (H) dengan rumus sebagai berikut :
Rumus Indeks Dominansi (D) :

D = ∑ (ni/N)2
ni/N = pi

Keterangan :
D
:
Indeks Domonansi Simpson
ni
:
Jumlah Individu tiap spesies
N
:
Jumlah Individu seluruh spesies

Rumus Indeks Keanekaragaman (H’):

H’ = -∑ pi log pi
pi = ni/N

Keterangan :
H’
:
Indeks Keanekaragaman Shanon Wiener
pi
:
kelimpahan relative spesies
:
Jumlah jenis yang tertangkap
ni
:
Jumlah Individu tiap spesies
N
:
Jumlah Individu seluruh spesies

Kriteria untuk indeks keanekaragaman menurut krebs (1989) sebagai berikut :


H > 3
:
Tinggi
H < 1 ≤ 3
:
Sedang
H < 1
:
Rendah








PRAKTIKUM IX 

Mengamati Perilaku Hewan


A.  Dasar Teori
Perilaku merupakan tindakan atau aksi yang mengubah hubungan antara organisme dan lingkungannya. Hal itu merupakan kegiatan yang diarahklan dari luar dan tidak mencakup banyak perubahan di dalam tubuh yang secara tetap terjadi pada makhluk hidup. Perilaku dapat terjadi sebagai akibat suatu stimulus dari luar. Reseptor diperlukan untuk mendeteksi stimulus itu, saraf diperlukan untuk mengkoordinasikan respons, efektor itulah yang sebenarnya melaksanakan aksi. Perilaku dapat juga disebabkan stimulus dari dalam. Hewan yang merasa lapar akan mencari makanan sehingga hilanglah laparnya setelah memperoleh makanan. Lebih sering terjadi, perilaku suatu organisme merupakan akibat gabungan stimulus dari luar dan dari dalam. Jadi, berdasarkan pernyataan di atas hubungan timbal balik antara stimulus dan respons yang terjadi pada organisme merupakan sebagian studi mengenai perilaku. Studi lainnya menyangkut masalah pertumbuhan dan mekanisme evolusioner dari organisme dan sekaligus evolusi perilakunya.
Menurut Lashley (1938) mempelajari perilaku mammalia, khususnya tikus, dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku instingtif pada mammalia dipengaruhi oleh stimulus yang kompleks. Tetapi kesimpulan tersebut baru cocok untuk perilaku kawin, seperti pada ikan berduri punggung tiga, tetapi tidak cocok untuk setiap bagian dari elemen tersebut. Bawaan atau pengkondisian sejauh ini masih taraf diskusi yang dilakukan mengenai problem yang menentukan apakah reaksi yang diberikan pada stimulus merupakan faktor bawaan atau bukan. Hal ini sering tidak memungkinkan untuk diputuskan pada hewan mammalia. Sebagai contoh, pada seluruh spesies dimana induknya yang mengasuh anak, perilakunya pada akhirnya mungkin dikondisikan oleh hewan dewasa dengan berbagai cara. Tetapi bagi individu-individu tersebut mungkin juga belajar dari pengalaman dengan bagian lain dari lingkungannya, seperti makanan atau predatornya.
 Buku-buku lama mengenai perilaku bawaan ini menyatakan bahwa perilaku seluruh anggota dari suatu spesies adalah sama karena perilaku bawaan. Tetapi penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa terdapat kesalahan pada kesimpulan tersebut. Sebagai contoh, anak burung penyanyi akan melakukan pengkondisian dan belajar dari spesies yang sama. Contoh lainnya, misalnya perilaku memelihara anak dari sejenis ikan. Noble dan Curtis (1939) berkolaborasi dengan Baerends dan Baerends (1950), yang meneliti sejenis ikan yang melakukan aktivitas pengasuhan terhadap spesiesnya selama waktu awal kehidupannya semenjak menetas. Jika sepasang ikan muda diberikan telur dari spesies yang berbeda, mereka mengambil telur-telur tersebut, tetapi segera membunuh anak-anak ikan dari spesies yang berbeda tersebut segera setelah lahir. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku bawaan bukan karena pengkondisian.
 

DAFTAR PUSTAKA


Abadi P.P., Indeks Keanekaragaman Jenis Serangga Pada Beberapa Ekosistem di Areal Perkebunan PT. Umbul Mas Wisesa Kabupaten Labuhan Batu, Skripsi : Dep. Ilmu Gizi dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara Medan, 2009

Agustina Saragih, Indeks Keragaman Jenis Serangga Pada Tanaman Stroberi (Fragaria sp) di Lapangan, Skripsi : Dep. Ilmu Gizi dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara Medan, 2008

Browidjojo, M., Dj., Zoologi Dasar, Erlangga, Jakarta, 1989

Imam Supiyan dkk, Laporan Lengkap Hasil Praktikum Pengetahuan Lingkungan ; Estimasi Populasi, Palangka Raya :  Lab. Biologi Prodi Tadris Biologi Jurusan Tarbiyah STAIN Palangka Raya, 2008

Nugroho Susetya, Saputa dan Witjaksono, Petunjuk Praktikum Entomologi Dasar,

Rita Sukaesih, S.Pd, M.Si, Petunjuk Praktikum Ekologi Hewan, Palangka Raya : STAIN Palangka Raya

Suhara, Animal Behaviour, Skripsi FPMIPA : UPI Bandung, 2010

Sukarsono, Pengantar Ekologi Hewan Konsep, Perilaku, Psikologi dan Komunikasi, UMM Press. Malang, 2009

Tim Penyusun Mata kuliah Pengetahuan Lingkungan, Diktat Ilmu Pengetahuan Lingkungan, Palangka Raya : UNPAR FKIP MIPA Pendidikan Biologi, 2008

Anonim. ______. Laba-Laba. (online http://id.wikipedia.org/wiki/laba-laba. Diakses tanggal 23 April 2010 Pukul 13.14 WIB)

Aprianto. 2010. Pola Perpindahan Beruang Kutub. (online http://chusnan.web.ugm.ac.id/index.php?subaction=showfull&id=1196835229&archive=&start_from = & ucat =2&do=artikel. Diakses tanggal 23 April 2010 Pukul 15.45 WIB)

Yahya, H., 2001, Keajaiban Dunia Laba-Laba. (online http://www.keajaiban labalaba.com/. Diakses tanggal 23 April 2010 Pukul 19.15 WIB)

http://haeryn.wordpress.com/2012/03/30/study-identifikasi-serangga-2/ (Online : 14 September 2013 Pukul 14.12 WIB)


http://tegmina.wordpress.com/2012/11/04/teknik-identifikasi-serangga/ (Online : 14 September 2013 Pukul 14.19 WIB)

http://majalahserangga.wordpress.com/2011/07/22/koleksi-serangga/ (Online : 14 September 2013 Pukul 15.27 WIB)











No comments :

Post a Comment